Pakar Hukum Tata Negara Undand Padang, Khairul Fahmi
PADANG|Matasumbar.com – Pakar Hukum Tata Negara Unand, Padang, Khairul Fahmi menilai sikap Kejaksaan Negeri Painan Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar menunda pelaksanaan eksekusi Rusma Yul Anwar sudah benar.
Menurutnya, faktor stabilitas keamanan daerah musti jadi pertimbangan, meski ada tanggungjawab dan perintah tugas terhadap pelaksanannya. Dengan demikian, azaz kemanfaatan sebagai salah satu bagian dari azaz hukum dapat tercapai.
“Pessel punya sejarah ribut saat Pilkada 2005. Saya rasa pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Pesisir Selatan sangat paham akan hal itu,” ungkapnya menjawab awak media di Padang beberapa waktu lalu.
Sekitar 10-15 orang mengatasnamakan diri mereka sebagai Aliansi Masyarakat Pesisir Selatan berorasi di Kajati Sumbar di Padang, 7 Oktober 2021. Mereka meminta Kejaksaan segera mengeksekusi Rusma Yul Anwar.
Secara administratif, lanjut Khairul Fahmi, Rusma Yul Anwar sah sebagai bupati. Itu sesuai dengan Surat Keputusan (SK) yang Menteri Dalam Negeri (Mendagri), sekaligus dilantik Gubernur Mahyeldi.
Setelah dilantik sebagai bupati, bagi Rusma Yul Anwar sudah melekat Undang-undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang 10 tahun 20216 tentang Pilkada tidak bisa diberlakukan lagi pada Rusma Yul Anwa, karena Pilkada telah usai.
Artinya, secara hukum tidak ada masalah dengan jabatannya. Segala kebijakan yang diambilnya sah sebagai bupati. Apalagi, semua orang memahami harapan masyarakat Pesisir Selatan sangat tinggi padanya.
“Ya, soal keamanan, jaksa sah-sah saja menunda eksekusi. Jaksa harus melihat azaz kemanfaatan hukum,” tuturnya.
Ia menegaskan harus ada solusi terbaik dari negara demi kelangsungan pembangunan di Pesisir Selatan. Jika tidak, polemik akan tetap terjadi. Perdebatan hukumnya tidak akan pernah selesai.
Harus ada solusi hukumnya, sehingga tidak ada yang tergadaikan. Aspek hukum tidak terlanggar dan kepentingan orang banyak pun tidak terabaikan. Berdasarkan UUD 1945 NKRI, hukum bertujuan mewujudkan kesejahteraan umdmum dan keadilan sosial.
Sebelumnya, tokoh masyarakat Pesisir Selatan menilai demo tersebut sarat dengan kepentingan pribadi, kelompok dan golongan kecil saja. Mereka meminta pihak Kejaksaan tidak terprovokasi dengan aksi itu.
Masyarakat Pesisir Selatan sudah jenuh. Mereka ingin daerahnya maju, setara dengan daerah lain. Tak ingin tanah tumpah darah dan keputusan politiknya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini dicabik-cabik kepentingan kelompok kecil dan pribadi.
Saat Pilkada 2020, harapan besar mereka telah tertumpang pada Rusma Yul Anwar. Mantan wakil bupati itu menang telak di 14 Kecamatan, dari 15 kecamatan yang ada. Perolehan suaranya lebih dari 128 ribu atau 58 persen dari keseluruhan suara sah.
“Dalam prinsip negara demokrasi, jika sebuah pemerintahan mendapat mandat dari rakyat, maka pemerintahan itu sah,” jelas Ketua Koalisi Masyarakat Selamatkan (Komas) Pesisir Selatan, Bambang Marah Sampono.
Jika kehendak pribadi dan kempok kecil tetap dipaksakan, ia khawatir terjadi konflik horizontal. Keamanan daerah jadi kacau. Roda pemerintahan akan lumpuh. Apalagi, perolehen suara Rusma Yul Anwar tidak saja melegitimasinya sebagai pemenang Pilkada, tapi sejaligus pemegang kedaulatan rakyat.
“Kami minta, semua pihak dapat menahan diri demi terlaksananya pembangunan di daerah yang kita cintai ini. Mari sama-sama kita hargai demokrasi dan hasil demokrasi. Jika masyarakat saja siap berdemokrasi, kenapa para elit tidak,” ujar Bambang.
Seperti diketahui, Pengadilan Negeri Kelas 1A Padang menjatuhkan vonis 1 tahun dan denda Rp1 miliar, subsidier 3 bulan penjara terhadap Rusma Yul Anwar. Ia dinilai telah melanggar pasal 109 UU 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.
Banyak pihak menilai vonis terlalu terlalu dipaksakan dan menciderai rasa keadilan. Kesalahan Rusma Yul Anwar hanya bersifat administratif, yakni soal izin. Seharusnya, putusan tertinggi hanya berupa denda.
Persoalan hukum Rusma berawal dari laporan Bupati Hendrajoni ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kejaksaan Agung, perihal perusakan hutan mangrove di Kawasan Mandeh Kecamatan Koto XI Tarusan.
Kasus tersebut kental dengan nuansa politis. Ini dinilai sebagai upaya pejegalan Rusma untuk maju sebagai calon bupati di Pilkada 2020. Dari 4 orang terlapora, hanya Rusma Yul Anwar saja yang sampai ke proses peradilan. Sedangkan 3 lainnya tidak.
Betapa tidak, dari 4 terlapor itu, hanya Rusma yang berkemungkinan maju sebagai kompetitor kandidat petahana Bupati Hendrajoni di Pilkada 2020. Sebeb, ketika itu, dirinya menjabat sebagai wakil bupati mendampingi Hendrajoni.
Pewarta : Topit Marliandi/L4
Editor : Heri Suprianto