Oleh Afifa Jemari Sakato
Ngopi-PB edisi kali ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana upaya pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim dapat benar-benar terintegrasi dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah, khususnya dalam penyusunan RPJMD Provinsi Sumatera Barat 2025–2029.
Pada acara ngopi-PB yang di gelar secara daring itu terbagi dalam dua sesi. Untuk sesi utama bersama BAPPEDA dan BPBD Provinsi Sumbar, sementara sesi Ignite Stage yang mengangkat peran FPRB dalam advokasi kebijakan.
Perspektif Pemerintah Daerah dan Penanggap
Disesi utama, Kepala Bappeda Sumbar, Medi Iswandi dan Kalaksa BPBD Sumbar, Dr. Rudy menegaskan, bahwa pentingnya menyusun perencanaan yang berbasis risiko dengan fokus pada ancaman yang nyata di masing-masing wilayah.
“Salah satu strategi utama adalah memperkuat sistem peringatan dini dan memperluas koordinasi lintas sektor serta penggunaan teknologi digital untuk penyebaran informasi” sebutnya.
Rudy Rinaldy menyampaikan, bahwa BPBD telah menyusun profil risiko bencana berbasis data sepuluh tahun terakhir sebagai bahan perencanaan kabupaten/kota. Namun, ia juga menyoroti tantangan koordinasi karena BPBD kabupaten/kota bukan merupakan perpanjangan langsung dari provinsi.
Dari sisi penanggap, Taufiqurrahman (FPRB DIY) menekankan, bahwa pentingnya asistensi lintas level, mengingat masih lemahnya integrasi data seperti RBI dan IKD dalam dokumen perencanaan.
Tak hanya itu, dia juga menyoroti, bahwa perlunya pelibatan multi-pihak sejak awal, termasuk instansi vertikal dan aktor non-pemerintah,
Peran FPRB Dalam Advokasi PRB dan API
Pada sesi kedua Ignite stage, FPRB Sumbar, Hidayatul Irwan, menyampaikan, pengalaman advokasi sejak masa awal pemilu kepala daerah. Forum PRB secara aktif memantau visi-misi calon kepala daerah dan mendorong agar komitmen terhadap ketangguhan bencana masuk ke dalam program unggulan.
“Hasilnya, isu PRB-API kini mulai tampak dalam misi RPJMD Sumbar, salah satunya terkait pembangunan infrastruktur tangguh bencana dan peningkatan resiliensi daerah” terangnya.
Dia menyebut, FPRB Sumbar membentuk tim kecil untuk menyusun usulan konkret, mengadakan diskusi daring dengan tim ahli RPJMD, dan mengirimkan rekomendasi resmi kepada Bappeda.
Dalam hal pihaknya juga membuka dialog politik dengan DPRD, khususnya Komisi IV, agar substansi usulan tersebut mendapat dukungan dalam proses anggaran.
Dalam catatan Hidayat, Sumatera Barat menyimpan risiko multi bencana, dari laut, darat, hingga lereng Marapi. Karena itu, advokasi yang dilakukan menyasar seluruh sektor pembangunan, termasuk pariwisata dan pendidikan.
“PRB bukan semata urusan BPBD, tetapi juga tanggung jawab semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD)” tegasnya.
Lebih jauh di sampaikan, salah satu refleksi penting adalah bagaimana PRB dipahami sebagai investasi jangka panjang yang tidak boleh diremehkan, meskipun hasilnya seringkali tidak terlihat dalam waktu dekat.
Kendala terbesar menurut FPRB adalah pemahaman OPD lain yang belum memandang PRB sebagai sesuatu yang terintegrasi dengan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan pembangunan, tukasnya.
Tantangan, Strategi, dan Keberlanjutan
Dari JEMARI Sakato, Affifa dalam.diskusi ngopi-PB menggarisbawahi bahwa pentingnya keberlanjutan advokasi, bagaimana menjamin bahwa PRB-API tidak hanya masuk dokumen, tetapi juga mendapat anggaran.
Strategi FPRB Sumbar adalah menjalin komunikasi intensif dengan legislatif dan terus menindaklanjuti proses secara paralel, baik melalui formalitas surat maupun pendekatan informal.
FPRB Mentawai, Dije menambahkan, pentingnya menyesuaikan strategi advokasi dengan konteks lokal, agar semua aksi di rencanakan berjalan sesuai harapan. Hidayat menyambut baik, sebagai masukan yang akan dipertimbangkan dalam tahap selanjutnya. (*).
Editor : Tim Redaksi