PADANG, matasumbar.com – Sidang dugaan kerusakan mangrove di kawasan Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), Sumbar, dengan agenda pembacaan pledoi atau bantahan pribadi dari terdakwa, Rusma Yul Anwar, di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Padang,12 Februari 2020.
Sidang sebelumnya, JPU menjerat terdakwa Rusma Yul Anwar dengan pasal 98 dan pasal 109 Undang-undang RI nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terdakwa dituntut empat tahun penjara, denda sebesar Rp5 miliar dengan subsider 12 bulan penjara.
Di hadapan Majelis Hakim, Rusma Yul Anwar memohon agar majelis hakim membebaskan dirinya dari segala tuntutan JPU, karena semua dakwaan kepada dirinya dinilai tidak didukung fakta dan alat bukti yang kuat.
Rusma Yul Anwar mengenakan baju kemeja warna putih celana warna abu-abu, Rusma Yul Anwar didampingi oleh keluarga dan simpatisannya, Rusma Yul Anwar menyampaikan pledoi yang dibacakannya dihadapan majelis hakim secara runut sejak kasus itu bergulir.
Rusma Yul Anwar, menyadari kalau kasus yang dialaminya ini merupakan kasus dipaksakan serta yang melaporkan langsung oleh Bupati Pessel, Hendrajoni.
“Saya yakin, Yang Mulia Majelis Hakim akan memutuskan suatu perkara bukan berdasarkan hasrat dan keinginan dari si pelapor saja, namun juga berdasarkan fakta dan tidak berdasarkan hasrat si pelapor,” ujar Rusma Yul Anwar dengan nada penuh keyakinan dihadapan Ketua Majelis Hakim Gutiarso.
Rusma Yul Anwar membacakan pledoinya, untuk menghitung tingkat kerusakan mangrove. Saksi ahli yang dihadirkan JPU untuk menentukan tingkat kerusakan mangrove dengan dasar Permen lh No. 201 tahun 2004 melanggar etika berfikir logis.
Larangan yang dikeluarkan Dinas Lingkungan Hidup (LH), Pessel melampaui batas kewenangannya. Sementara Dinas LH mengetahui hal ini atau pura-pura tidak tau bahwa AMDAL Kawasan Wisata Mandeh diajukan oleh Pemprov Sumbar ke Kementrian terkait.
Hal itu, sesuai dengan UU No 32 tahun 2009 pasal 34 ayat 2 yang menyatakan Gubernur atau Bupati/Walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi UKL/UPL.
“Saya tau pada tahun 2016 Peraturan Bupati maupun Peraturan Gubernur tentang Penetapan Jenis Usaha dan kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL/UPL belum ada izin lingkungan belum tentu menjadi kewajiban saya,” ungkapnya.
Hal ini sesuai dengan fakta persidangan yang disampaikan oleh ahli dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, Mardianto.
Pengurusan izin lingkungan belum tentu menjadi kewajiban CV Semesta Mandeh, tetapi bisa jadi menjadi kewajiban pemrakarsa, dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar, ungkapnya.
Lanjutnya, karena ini adalah program kemitraan atau kerjasama bukan masalah perizinan. Karena, program kemitraan atau kerjasama, orang perorangan dan atau badan usaha yang melakukan kerjasama atau kemitraan dengan Dinas Kehutanan, maka orang perorangan dan atau badan usaha tersebut bekerja untuk kepentingan Dinas Kehutanan.
Dalam program kerjasama antara Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar (KPHP bukit barisan) dengan BumNag Nagari Pelangai. Izin lingkungannya diurus oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat (UPTD KPHP Pesisir Selatan). Dalam pengurusan tersebut Dinas LH Pessel hanya mengambil Dokumen UKL/UPL.
Sementara izin lingkunganya hingga saat sekarang, dan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pessel, tidak berani menerbitkan dengan alasan Kawasan itu merupakan Kawasan Hutan Produktif atau Hutan Lindung.
Izinnya merupakan kewenangan Pemprov (Dokumen Terlampir). Keterangan Ahli Mardianto selaras dikatakan saksi Suardi Kepala Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pessel yang dihadirkan di persidangan oleh JPU.
Sebelumnya, Suardi mengatakan, yang berwenang mengeluarkan izin di Kawasan Mandeh itu adalah Pemprov Sumbar. Karena menurut Suhardi, kawasan itu berada dibawah kewenangan Pemprov Sumbar.
“Jaksa menuntut selama empat tahun dan denda Rp5 miliar. Adapun keyakinan Jaksa itu berdasarkan keterangan saksi ahli DR. Nyoto Santoso baik yang tertulis dalam BAP, ketika dia menghitung tingkat kerusakan mangrove 100 persen, sementara dia mengakui lahan yang rusak itu utuh merupakan satu kesatuan kawasan,” ujarnya lagi.
Wakil Bupati itu, berumpama, sebuah Kue tart yang utuh dibagi menjadi 4 bagian kemudian dimakan 1 bagian, tidak seorangpun yang berani menyatakan bahwa kue itu sudah habis 100 persen atau kue tart yang masih di dalam loyangnya.
Kemudian, kue itu dipotong menjadi 4 bagian. Ketika ¼ bagiannya diangkat, maka, tidak seorang pun yang berani menyatakan bahwa seluruh dasar loyang terlihat. Karena masih ditutupi oleh ¾ kue yang tersisa.
“Saya tidak habis pikir keberanian saksi Ahli DR. Nyoto Santoso menyampaikan itu. Tapi, usia sidang Nyoto menemui saya meminta maaf,” ungkapnya.
Beberapa Jurnal Penelitian Nyoto Santoso tentang kerusakan mangrove, tidak satupun dalam jurnal itu Nyoto Santoso menyampaikan kerusakan mangrove 100 persen dari sisi kerusakannya. Ternyata, Nyoto tetap membandingkan luas lahan yang utuh dan lahan yang telah rusak (bukti terlampir).
“Lahan saya luasnya hanya 2,24 hektare. Berdasarkan Citra Satelite yang diunduh pada Perangkat Lunak (Software) Google Earth tanggal 25 februari 2015 dan tanggal 30 Desember 2014 semua terlampir,” jelasnya.
Menurut pendapat ahli Roki Apriandi, yang juga melakukan penelitian sesuai dengan PermenLH No. 201 tahun 2004 tentang Kriteria baku kerusakan mangrove.
Penemuan tersebut, katanya, persentase kehilangan tutupan hutan mangrove 15 persen dan areal yang masih utuh 85 persen dengan kerapatan 2487 individu per hektare.
Maka, berdasarkan penelitian dari Ahli Roki Afriandi dapat digolongkan kondisi hutan mangrove di lokasi miliknya masih dalam kondisi baik.
Selanjutnya, menurut pendapat Ahli Ade Winanda yang juga melakukan penelitian sesuai dengan PermenLH No. 201 tahun 2004 tentang Kriteria baku kerusakan mangrove menemukan persentase kehilangan tutupan hutan mangrove 42,31 persen dan areal yang masih utuh 57,69 persen dengan kerapatan 1244,4 individu per hektare. Maka lokasi miliknya dalam kondisi sedang.
Kembali Saksi Ahli Roki Afriandi menyatakan, luas areal tersebut di atas 1.200 m2 atau 0,12 hektar. Dan itu pun diukur dengan cara mengelilingi areal (Polygon). Metoda ini dilakukan mengingat kondisi Olo yang tidak beraturan. Dimana bukaan arah bukit lebih lebar daripada ke arah laut.
Adapun cara yang dilakukan saksi ahli Roki Afriandi ini sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta jurnal-jurnal ilmiah.
Cara yang sama juga dipakai saksi ahli Nyoto dalam menghitung tingkat kerusakan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur.
Judul Jurnal tersebut adalah “Kerusakan Ekosistem Mangrove Di Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur” di Publikasi Oleh Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 08 No. 2, Agustus 2017, Hal 130-133 ISSN: 2086-8227, Institut Pertanian Bogor tahun 2017 (Jurnal Terlampir). Matinya Hutan mangrove untuk Dermaga (tidak jadi dipergunakan) seluas 1.000 m2 atau 0,1 hektar.
Anehnya lagi, titik koordinat yang dinyatakan oleh Nyoto setelah di uji dengan menggunakan aplikasi Google Earth. Ternyata, bukanlah titik koordinat di lokasi milik terdakwa, melainkan titik koordinat di lahan milik Yogan Askan (Peta Terlampir).
Demikian juga dengan keterangan Saksi Nyoto hutan mangrove yang ditimbun seluas 3.900 m2 atau 0,39 hektar yang dijadikan pelataran parkir. Ini adalah tuduhan yang tidak ada dasarnya sama sekali.
Berdasarkan data sekunder yaitu Data Citra satelit (Terlampir) yang diperoleh dari Aplikasi Google Earth diunduh sebelum kegiatan berlangsung. Sedangkan warna hijau tua atau hijau gelap menunjukan hutan mangrove sesuai fakta persidangan, semua saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut. Menerangkan bahwa itu adalah bekas areal sawah dan perladangan.
Adapun keterangan Saksi Nyoto yang menyatakan bahwa itu adalah mangrove ikutan. Berdasarkan pasal 1 Permen LH No.201 tahun 2004 tersebut maka mangrove ikutan yang dimaksud Saksi Ahli Nyoto bukanlah pengertian mangrove yang dimaksud oleh Permen LH No.201 tahun 2004.
Dikarenakan areal yang tertimbun itu adalah areal yang tidak pernah disentuh air laut. Berdasarkan fakta persidangan. Maka, luas kerusakan yang dihitung oleh Ahli Nyoto seluas 7.900 m2 atau 0,79 hektare hendaknya tidak dapat lah kiranya diterima.
Dalam, dakwaan Jaksa yang dikutip dari pernyataan Saksi Zaitul Ikhlas yang menerangkan, Saksi pernah mengingatkan dirinya untuk tidak mengangkut tanah ke lokasi timbunan mangrove sebelum kegiatan penataan lahan dilaksanakan keterangan ini tidaklah benar.
“Pertemuan saya dengan saksi dikarenakan Boat yang membawa material untuk bangunan kandas di Olo. Material ini dibawa tentunya dikarenakan penataan lahan di Bukit telah selesai. Oleh karena itulah, pernyataan saksi ini tidak sesuai dengan didakwakan Jaksa kepada saya,” jelasnya.
Keterangan saksi Zaitul Ikhlas selanjutnya, tentang saran saksi kepada dirinya untuk meminta izin kepada Bapak Albert merupakan Kabid Kelautan di Dinas Kelautan dan Perikanan, Sumbar untuk memperlebar Olo yang akan mengakibatkan rusaknya mangrove. Keterangan ini Juga tidak Benar. Karena, pada tahun 2016, kewenangan kelautan masih berada di Pemerintah Daerah Pessel.
“Tidaklah mungkin, kewenangan yang ada di Pessel seperti yang disarankan oleh saksi diurus ke Pemda. Kewenangan Kelautan itu pindah ke Provinsi mulai tahun 2017. Keadaan yang sebenarnya adalah beberapa bulan setelah perluasan Olo. Saya bertemu saksi di perempatan Perumnas Painan Timur. Saat itu saya sampaikan, untuk membuat dermaga apung yang melintasi tajuk mangrove hingga ke bibir karang,” ujarnya lagi.
Akhirnya, Saksi Zaitul Ikhlas datang dengan membawa beberapa contoh dermaga apung. Lalu, beberapa saat kemudian Saksi menghubungi Albert. Setelah itu, Saksi menyerahkan Hpnya kepada terdakwa untuk berbicara langsung dengan Albert. Oleh karena itu, pada tanggal 08 Februari 2017, terdakwa menyerahkan langsung surat permohonan izin ke Bapak Albert di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi (Bukti Surat Terlampir).
Demikian juga dengan keterangan Saksi Ahli Ester Simon dalam BAP dan keterangannya di Persidangan, Saksi Ahli Ester hanya mengutip Pasal 34 ayat 1 UU No. 32 tentang Lingkungan Hidup yang berbunyi, setiap usaha dan atau kegiatan yang tidak termasuk kedalam kriteria wajib AMDAL sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 ayat 1 wajib memiliki UKL/UPL.
Sementara Pasal 23 ayat 1 yang menjadi rujukan Saksi Ahli Ester, hanya mengatur tentang kriteria usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL dan tidak mengatur kriteria usaha dan atau kegiatan yang wajib UKL/UPL.
Saksi Ester sengaja tidak membahas Pasal 34 ayat 2 yang berbunyi, Gubernur, Bupati/Walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL/UPL. Oleh sebab itu, kewajiban UKL/UPL tersebut tidak bisa dikenakan kepada dirinya. Karena dalam hal ini, Pemerintahlah yang lalai atau tidak menjalankan Amanat UU No. 32 tersebut.
Demikian juga alasan Saksi Ester Simon, tentang belum adanya PERGUB atau PERBUP yang mengatur UKL/UPL. Maka, dipakailah UU 32 tahun 2009 sebagai rujukannya.
Keterangan Saksi terbantahkan dengan surat No:B-5362/Dep.I-1/LH/07/2010 (Surat Terlampir) dari KLHK yang meminta Gubernur, Bupati/Walikota untuk mengatur jenis kegiatan yang wajib UKL/UPL.
Jika sekiranya keterangan saksi Ester adalah benar, maka, tidak mungkin KLHK mengeluarkan surat tentang penyampaian jenis dan rencana usaha yang wajib dilengkapi dengan UKL/UPL Kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.
“Majelis Hakim yang saya muliakan dari perjalanan panjang kasus ini, selaku seorang warga negara, dan sebagai masyarakat biasa. Saya merasa diperlakukan secara tidak berkeadilan, maka dengan harapan yang besar saya memohon kepada Majelis Hakim Yang Mulia, kiranya berkenan memberikan keadilan kepada saya dengan melepaskan saya dari semua tuduhan, fitnah dan kezaliman yang terjadi pada diri saya. Sesungguhnya, saya tidak pernah memiliki niat sama sekali untuk melakukan perusakan lingkungan seperti yang dituduhkan kepada saya. Semua yang telah saya kerjakan semata-mata hanya didorong oleh suatu keinginan, bagaimana destinasi wisata di kawasan Mandeh bisa berkembang lebih cepat lagi dan memberi manfaat khusus kepada masyarakat disekitarnya, maupun masyarakat Pessel pada umumnya,” katanya.(Topit Marliandi).