PADANG, matasumbar.com – Sidang dugaan pengruskan mangrove di Mandeh, Pesisir Selatan (Pessel), Sumbar, dengan terdakwa Rusma Yul Anwar kembali di gelar di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Padang, dengan agenda Duplik atas Replik Jaksa Penuntut Umum, pada Kamis (20/02/2020).
Penasehat Hukum terdakwa, Vino Oktafian mengatakan, pihaknya meminta keadilan kepada majelis hakim, dan membebaskan kliennya dari dakwaan jaksa. Karena Replik Penuntut Umum yang mencoba membangun opini dan bermaksud untuk mengiring pemikiran Majelis Hakim dengan nararasi-narasinya tentang kejahatan dan kerusakan lingkungan hidup.
“Menurut kami Penuntut Umum telah ‘mengeneralisasi’ permasalahan, sedangkan perkara a quo merupakan kasus hukum yang bersifat kongkrit yang tidak dapat dipersamakan ataupun dicampur-adukan dengan permasalahan lainnya, “ujarnya.
Seyogiyanya, yang dikemukankan dalam perkara a quo, adalah fakta-fakta hukum yang terungkap di depan persidangan, bukanlah opini ataupun narasi-narasi yang disengaja dibangun sebagai alat pembenaran bagi kepentingan Penuntut Umum dalam perkara a quo, karena Penuntut Umum sebagai penegak hukum seharusnya dalam perkara a quo melakukan suatu upaya untuk penegakan kebenaran dan keadilan.
“Penuntut Umum bukan semata-mata menghukum, akan tetapi untuk melihat kebenaran dan keadilan harus ditegakkan, sehingga dengan demikian besar harapan kami kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo agar putusan perkara a quo nantinya tidak hanya semata-mata berpedoman pada surat dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum, “harapnya.
Dalam Dupliknya, Vino mengatakan, Penuntut Umum sangat tidak berdasar menyatakan dakwaan kesatu Penuntut Umum dalam perkara a quo telah terbukti di depan persidangan dengan serta merta mengeyampingkan Nota Pembelaan Penasihat Hukum dengan menyatakan bahwa Pembelaan Penasihat Hukum tidak sesuai dengan fakta persidangan dan hanya mengambil fakta persidangan yang menguntungkan bagi terdakwa saja.
Padahal, menurutnya, bila Penuntut Umum membaca dan memahami secara teliti, cermat dan seksama Nota Pembelaan Penasihat Hukum terdakwa, maka justeru Pembelaan Penasihat Hukum terdakwa lebih didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang terungkap dari keterangan dan pendapat yang disampaikan oleh saksi-saksi fakta dan ahli yang diajukan sendiri oleh Penuntut Umum di depan persidangan, sehingga faktanya justeru keterangan dan pendapat dari saksi-saksi fakta dan ahli Penuntut Umum sendiri diperoleh fakta hukum persidangan tidak terbuktinya dakwaan Penuntut Umum dalam perkara a quo.
Dikatakannya, terdakwa tidak berniat untuk melakukan pengrusakan mangrove, karena terdakwa hanya memerintahkan atau meminta saksi Yuhardi untuk memperlebar dan memperlebar Olo dengan tujuan agar boat yang membawa material tidak kandas. Karena mempelebar itu tidak merusak mangrove.
Penuntut Umum tidak menyebutkan dalam konteks apa peranan terdakwa, karena sesuai dengan fakta hukum di depan persidangan yang melakukan (plegen) tindak pidana perusakan mangrove adalah saksi Yulhardi dan bukanlah terdakwa secara langsung, sehingga berdasarkan perananya yang harus didakwa dan dituntut berdasarkan dakwaan kesatu Penuntut Umum adalah saksi Yuhardi sebagi orang yang melakukan (plegen) tindak pidana dan bukanlah terdakwa.
Kecuali Penuntut Umum dalam perkara a quo mengunakan pasal penyertaan (deelneming) vide Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, sehingga baru relevan terdakwa didakwa dan dituntut sebagai orang yang menyuruh atau memerintah melakukan tindak pidana (doen plegen).
Akan tetapi faktanya tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, sehingga untuk pembuktian peranan penyertaan terdakwa menjadi tidak relevan secara hukum pembuktian. Oleh karena itu, maka pembuktian dakwaan kesatu dengan unsur sengaja melakukan terbukti dilakukan oleh saksi Yuhardi sebagai orang yang melakukan (plegen) tindak pidana dan bukanlah oleh terdakwa karena peranan terdakwa hanyalah orang yang menyuruh melakukan (doen plegen).
Tanggapan Penuntut Umum dalam Repliknya pada halaman 8 yang pada pokoknya menyatakan diantara 3 ahli tersebut terdapat perbedaan cara ukur dan waktu pengambilan data sehingga hasil juga akan berbeda adalah dalil keliru dan tidak berdasar hukum, karena tidak ada hubungan langsung antara waktu para ahli turun ke lapangan dengan kesimpulan penghitungan ahli menyangkut luas mangrove yang rusak.
Dimana perbedaan kesimpulan penghitungan luas mangrove yang rusak menurut ahli Penuntut Umum (Nyoto Santoso ) dan ahli Terdakwa (Roki Afriandi dan Ade Winanda) diakibatkan karena terdapatnya perbedaan dalam menentukan daerah pengukuran, mengunakan metode pengukuran dan mekanisme pengkuran dalam menentukan kriteria baku kerusakan mangrove berdasakan Kepmen LH No 201 Tahun 2004. Dimana ahli Penuntut Umum (Nyoto Santoso) daerah pengukurannya tidak sesuai dengan Kepmen LH No. 201 Tahun 2004 dengan tidak mengunakan daerah pengukurannya berdasarkan sempadan pantai mangrove yang dipengaruhi pasang surut (Pasal 1 angka 1 Kepmen LH No. 102 Tahun 2004), melainkan hanya berdasarkan areal yang rusak saja tanpa sama sekali memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 1 Kepmen LH No. 201 Tahun 2002 tentang daerah pengukuran adalah sempadan pantai mangrove yang berada di lokasi lahan terdakwa.
Bahwa oleh karena Nyoto Santoso hanya melakukan pengukuran terhadap mangrove yang rusak saja, maka sangat wajar kesimpulannya menyebutkan kerusakan mangrove 100 persen akan tetapi Kepmen LH No. 201 Tahun 2004 sama sekali tidak memandatkan ataupun menyebutkan untuk menentukan kriteria baku kerusakan mangrove pengukuran dilakukan pada daerah mangrove rusak saja, karena dalam Kepmen LH No. 201 Tahun 2004 daerah pengukuran dalam menentukan kriteria baku kerusakan mangrove adalah sempadan pantai mangrove yang dipengaruhi oleh pasang surut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Kepmen LH No. 201 Tahun 2004. Jadi bukan pada areal mangrove yang rusak yang saja sebagaimana telah dilakukan oleh ahli Nyoto Santoso.
Bahwa tanggapan Penuntut Umum yang menyatakan kerusakan mangrove berdasarkan hitungan setiap plot yang dibuat dengan menarik garis lurus dari laut terhadap hutan mangrove yang dilakukan perhitungan, maka jika di dalam plot tersebut masih terdapat pohon mangrovenya maka hasilnya tidak akan nol, adalah pendapat baru yang dicoba dibangun oleh Penuntut Umum dalam perkara a quo. Padahal berdasarkan fakta persidangan ahli Nyoto Santoso dalam menentukan kerusakan mangrove tidak berdasarkan hitungan setiap plot melainkan dengan menjumlahkan besaran luas areal rusak sehingga dari 3 areal rusak diperoleh besaran luasan kerusakan mangrove dengan cara menjumlah ketiga areal mangrove rusak tersebut secara matematis adalah 0,79 ha.
Dimana mekanisme pengukuran yang sesuai dengan Kepmen LH No. 201 Tahun 2004 adalah dengan pengukuran yang dilakukan pada sempadan pantai mangrove yang dipengaruhi oleh pasang surut, selanjutnya ditentukan wilayah kajian untuk pengamatan vegetasi mangrove dan pada wilayah kajian ditentukan stasiun-stasiun pengamatan dan pada stasiun pengamatan ditetapkan transek garis lurus dari arah laut ke arah darat dan pada setiap zona mangrove yang berada di sepanjang transek garis selanjutnya diletakan plot-plot 10 m x 10 m secara acak (vide lampiran II Kepmen LH. No. 201 Tahun 2004).
Akan tetapi berdasarkan fakta persidangan ternyata ahli Nyoto Santoso, sama sekali tidak melakukannya sesuai dengan Kepmen LH No. 201 Tahun 2004 di atasa. Bahkan ahli Nyoto Santoso, telah keliru dalam menentukan daerah pengukuran, yaitu sempadan pantai mangrove dengan hanya menjadikan areal rusak saja sebagai daerah pengukuran tanpa berdasarkan sempadan pantai mangrove yang berada di lokasi lahan terdakwa sebagaimana telah diatur dalam Kepmen LH No. 201 tahun 2004.
Sidang dipimpin langsung oleh majelis hakim yang diketuai Gutiarso, dan akan dilanjutkan pada 2 Maret dengan agenda pembacaan putusan majelis hakim.
Jaksa Penuntut Umum sebelumnya menuntut terdakwa dengan hukuman empat tahun penjara, serta denda sebesar Rp5 miliar subsider 12 bulan kurungan. Jaksa menuntut terdakwa dengan pasal 98 dan pasal 109 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,(Topit Marliandi).