Fhoto Ilustrasi
Oleh : Agustinus Aris Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
MataSumbar.com – Bumi sedang tidak baik-baik saja, tetapi masih banyak manusia yang berulah. Kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap yang terjadi dalam beberapa bulan yang lalu, menjadi ajang sarkasme di media sosial. Masyarakat terdampak menginginkan libur. Media sosial dipenuhi dengan sarkasme mendesak pemerintah untuk mengambil kebijakan supaya diliburkan, dengan alasan kesehatan.
Ironisnya, saat wabah corona mulai melanda Indonesia, pemerintah mengeluarkan surat edaran untuk melaksanakan pekerjaan dari rumah atau work from home (WFH) dan school from home (SFH), serta mengurangi aktivitas di luar rumah (jika tidak mendesak) demi memutus rantai Covid-19 justru tidak diindahkan. Masih ada masyarakat yang berkeliaran di mana-mana. Nongkrong di kafe-kafe, di tempat-tempat perbelanjaan. Padahal jelas, imbauan tersebut demi alasan kesehatan. Bahkan masih ada masyarakat yang tidak kooperatif terhadap himbauan pemerintah dan anjuran para petugas medis.
Pertanyaannya, bagaimana para pemangku kepentingan di dalam kerangka pelayanan publik harus mengambil keputusan di hadapan beberapa pilihan yang mungkin? Misalnya, dalam situasi genting yang sedang kita hadapi saat ini. Mahasiswa dan beberapa masyarakat yang hendak pulang berlibur dipulangkan oleh Tim Gugus Tugas. Sementera pejabat, dewan yang terhormat tidak berani dipulangkan meski melakukan perjalanan dari daerah terjangkit.
Karantina Wilayah dan PSBB menjadi buah simalakama pemerintah dalam mengambil keputusan. Secara pribadi, penulis mengapresiasi tindakan sigap yang dilakukan oleh pemerintah. Mengingat ketersediaan tenaga ahli, ketersediaan APD dan infrastruktur medis sangat terbatas. Maka menjadi pilihan untuk memutus kontak fisik dengan daerah luar yang sudah terpapar Covid 19. Di satu sisi, keputusan karantina wilayah dan PSBB menjadi pilihan yang harus diambil di antara pilihan-pilihan alternatif lain. Di sisi lain, (sangat disayangkan) para pejabat justru tidak taat terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
Konflik kepentingan, korupsi, dan birokrasi yang berbelit menyebabkan buruknya pelayanan publik (Haryatmoko, 2015). Tidak (jangan) heran jika masyarakat mulai skeptis dan pesimis terhadap politik. Reaksi semacam itu bisa dipahami sebagai bentuk perlawanan, kekecewaan dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan para polititisi. Anomali terhadap keputusan, terkesan plin-plan sehingga himbaun tidak menjadi berarti apa-apa bagi masyarakat jika keputusan justru dilanggar oleh para pejabat itu sendiri. Hal ini tentu menimbulkan kecemasan bagi masyarakat.
Masyarkat menantikan kepastian atas kebijakan terlebih janji-janji yang meringankan beban mereka selama PSBB. Masyarakat (juga mahasiswa) harap-harap cemas menantikan sembako atau pun bantuan sejenisnya, berharap solusi bukan halusinasi disaat mereka berjuang antara perut dan ancaman wabah. Input data di zaman serba digital ini sejatinya tidak menjadi alasan keterlambatan dalam pengumpulan berkas yang diperlukan. Ketidakpastian setiap kebijakan dapat menimbulkan kepanikan dalam masyarakat.
Kepanikan yang berlebihan telah mengikis nalar kemanusiaan. Mahasiswa menjadi bulan-bulanan masyarakat jagat maya (netizen). Pasien yang dinyatakakan suspect menjadi objek kekecwaan masyarakat. Mereka harus menerima kenyataan pahit. Mereka menghadapi situasi yang sangat dilematis. Ingin hati untuk pulang, mereka bingung jangan-jangan dalam perjalanan akan kontak fisik dengan mereka yang sudah terpapar yang nantinya akan membawa wabah untuk keluarga serta masyarakat yang akan dijumpai. Di lain sisi, mereka menghadapi kesulitan seperti kos, kontrakan dan asrama ditutup oleh pengelola dan pemiliknya, dengan alasan untuk mencegah penularan dan kerumunan.
Jika para pejabat, para dewan yang terhormat dan kerabat para pejabat dengan mudanya mendapat rekomendasi keluar masuk dengan alasan tugas kedinasan, maka mahasiswa juga boleh pulang atas nama kemanusiaan. Dengan catatan pemerintah harus tegas dan bijaksana. Mereka wajib dikarantina di homestay yang telah dipersiapkan demi keselamatan keluarga dan seluruh warga. Jangan berikan peluang untuk karantina mandiri. Alasannnya sangat jelas! Karena jika karantina mandiri di rumah, disitu ada anggota keluarga yang tinggal bersama dengan yang bersangkutan.
Berjibaku dalam memutus rantai Covid 19 adalah tujuan kita bersama-sama menuju kemenangan sejati di tengah pertempuran. Kebijakan dalam menghadapi situasi saat ini bukan perkara populer atau tidak tetapi perkara kemanfaatan bagi masyarakat banyak. Aturan dibuat untuk mengikat, dimana semua lapisan masyarakat taat terhadapnya termasuk para pejabat sekalipun! Ini pandemic untuk kita perangi bersama.
Covid-19 tidak untuk dipolitisasi, melainkan untuk kita perangi bersama. Apa lagi saling tuding satu sama lain bukan pilihan yang tepat dalam situasi genting saat ini. Merasa paling berjasa, dan banyak berkontribusi sangat tidak dewasa. Masyarakat justru menjadi pesimis terhadap politik. Politik bagi masyarakat hanya sekadar dagelan oleh aktor pelbagai kepentingan yang saling bertaut dan berkelindan. Sekali lagi bukan untuk dipolitisasi untuk membangun panggung politik konstelasi yang akan datang.
Kunci utama dalam memutus rantai Covid 19 adalah keseriusan pemerintah dalam setiap kebijakan dan masyarakat mau bekerja sama. Ikuti imbauan, jangan ngeyel. Tidak berlebihan bahwa dengan tidak pulang dari daerah terjangkit serta tidak melakukan aktivitas di luar rumah sudah meringankan tugas para medis. Para petugas medis sejatinya tentara yang sedang bertugas di medan tempur untuk menyelamatkan nyawa banyak orang. Tetapi, juga mereka memikul tugas dan tanggung jawab serta resiko yang harus mereka hadapi.