Mokh Khayatul Rokhman Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta
JAKARTA|MataSumbar.com – Protes terhadap remisi koruptor terus dilayangkan para aktivis antikorupsi khususnya ICW dan beberapa mantan komisioner KPK. Mereka beranggapan remisi tidak akan membuat pelaku korupsi jera. Remisi dapat mengganggu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Remisi adalah pengurangan masa pidana dalam rangka memotivasi narapidana berpartisipasi aktif mengikuti semua kegiatan pembinaan di Lapas. Berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 14 ayat (1) remisi adalah hak narapidana.
Remisi untuk koruptor diperketat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 1999 bersama-sama dengan kasus narkotika, terorisme, pencucian uang, dan human trafficking. Kasus-kasus tersebut digolongkan sebagai extraordinary crimes.
Kasus korupsi diberikan perhatian paling serius karena berkaitan erat dengan politik dan pemerintahan. Penanganannya juga berbeda dengan dibentuknya KPK yang bertugas melaksanakan penyidikan sekaligus penuntutan. KPK merupakan organisasi superbody karena memiliki kewenangan yang besar dalam proses peradilan dibandingkan institusi hukum lain.
Undang-undang tentang Pemasyarakatan dan Undang-undang tentang Pemberantasan Korupsi yang berlaku saat ini tidak mengatur dengan khusus tentang remisi kasus korupsi. Remisi koruptor hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012.
Undang-undang Pemasyarakatan hanya mengatur secara umum bahwa Lapas merupakan tempat pembinaan narapidana dan remisi merupakan hak narapidana. Remisi diberikan kepada narapidana yang berkelakuan baik dan mengikuti semua kegiatan pembinaan dengan baik. Pembinaan tidak dikecualikan kepada pelaku kasus korupsi.
Bukan Balas Dendam
Pembinaan di Lapas bukanlah didasari pada asas balas dendam. Pemidanaan di Indonesia mengikuti paradigma internasional yang mulai meninggalkan unsur balas dendam. Hukum diciptakan bukan untuk menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Hukum harus menciptakan kesejahteraan bagi semua umat manusia.
Paradigma pemidanaan sekarang menuju pada perbaikan, rehabilitasi, dan integrasi pelaku dengan masyarakat sehingga menjadi manusia yang berperan bagi pembangunan. Penjara (prison) saat ini merupakan bagian dari perbaikan (correctional) sebagaimana dapat kita temui di negara-negara lain.
Pemidanaan saat ini juga harus menghormati hak asasi manusia. Ide-ide penerapan hukuman mati sebagai penjeraan harus dihindari. Bukti-bukti dan data-data tentang dampak positif hukuman mati bagi koruptor dalam menekan korupsi jarang terlihat.
Menurut Erasmus Napitupulu dari ICJR dalam Final Laporan Pidana Mati 2020 ICJR, ancaman pidana mati tidak serta-merta menurunkan angka korupsi. Bahkan di China yang mengeksekusinya juga tidak memberi dampak yang signifikan.
Negara-negara yang tidak memberi ancaman pidana mati seperti Denmark, Selandia Baru, Findlandia, Singapura, Swedia, dan Swiss justru menempati ranking Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Tahun 2020 teratas. Data Transparansi Internasional (TI) memperlihatkan IPK Indonesia 37 berada di rangking 102 dan IPK China 42 di rangking 78 yang sama-sama memiliki ancaman pidana mati bagi koruptor. Negara lain yang memiliki ancaman pidana mati malah berada di rangking bawah seperti Vietnam di rangking 104, Laos rangking 134, Irak rangking 160, dan Iran rangking 149.
Pemidanaan dalam pemasyarakatan hanyalah merampas kemerdekaan sementara untuk diberikan pembinaan. Setelah selesai narapidana diintegrasikan kembali ke masyarakat untuk menjadi manusia pembangunan. Remisi merupakan hak dari narapidana yang tidak dapat dipisahkan dari pembinaan karena memberi motivasi dalam mengikuti pembinaan.
Bersifat Subjektif
Sejarah remisi berawal pada masa Hindia Belanda yang diberikan kepada narapidana dalam rangka merayakan hari ulang tahun kelahiran Ratu Belanda tanggal 10 Agustus 1935. Artinya hanya bersifat subjektif dan sesuka hati negara (Ratu Belanda) yang sedang baik hati.
Aturan remisi pertama kali adalah Kepres No. 156 Tahun 1950 perihal Pembebasan Hukuman untuk Seluruhnya atau untuk Sebagian Tiap-tiap Tanggal 17 Agustus. Narapidana sesuai Kepres No. 156 Tahun 1950 Pasal 1 ayat (2) dapat ditambah remisinya jika melakukan hal yang berjasa bagi negara, orang yang melanggar peraturan Hindia Belanda atau peraturan Jepang yang tidak lagi diancam dengan hukuman dan pembebasan (remisi) terkait hal-hal penting bagi negara.
Peraturan remisi berikutnya adalah Kepres No. 5 Tahun 1987 tentang Pengurangan Menjalani Pidana (Remisi). Selain remisi terkait hari kemerdekaan, narapidana sesuai Kepres No. 5 Tahun 1987 pasal 1 ayat (2) dapat ditambah remisinya jika berbuat jasa bagi negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan dan melakukan perbuatan yang membantu kegiatan dinas Lapas.
Peraturan remisi yang terakhir dan masih berlaku saat ini adalah Kepres No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi. Kepres ini merupakan peraturan remisi yang lahir setelah berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pada Kepres No. 174 Tahun 1999 dikenal tiga nama remisi yaitu Remisi Umum, Remisi Khusus dan Remisi Tambahan. Remisi Umum berkaitan dengan peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid tersebut diperkenalkan Remisi Khusus berkaitan dengan perayaan hari besar agama, yang diberikan pada hari besar keagamaan penganut agama yang bersangkutan. Remisi Tambahan sesuai Kepres No. 174 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (1) berisi aturan yang sama dengan Kepres Remisi sebelumnya yaitu berbuat jasa bagi negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan dan melakukan perbuatan yang membantu kegiatan dinas Lapas.
Remisi merupakan kewenangan pemasyarakatan sebagai bagian akhir dari sistem peradilan. Pemasyarakatan bertugas untuk pelaksanaan (eksekusi) proses pidana yakni memberikan pembinaan untuk dikembalikan ke masyarakat. Pengadilan bertugas memutus perkara pidana. Kepolisian bertugas dalam penyidikan. Kejaksaan dan KPK bertugas melaksanakan penyidikan dan penuntutan.
Sebagai sebuah sistem hukum baik kepolisian, kejaksaan, KPK, pengadilan, dan pemasyarakatan bekerja sesuai dengan bidangnya untuk mencapai tujuan bersama yaitu hukum untuk mencapai kesejahteraan manusia di Indonesia.
Remisi hanyalah salah satu alat (tools) dalam mencapai tujuan pidana dan hukum. Tidak terulangnya perbuatan koruptor merupakan salah satu keberhasilan hukum pidana. Residivis justru lebih banyak didominasi pelaku pencurian dan penyalahgunaan narkotika bahkan sering berulang-ulang.
Korupsi lebih banyak dilakukan oleh pelaku-pelaku yang baru dari pada residivis sehingga pencegahan harus lebih ditingkatkan. Semua unsur dalam masyarakat harus terlibat aktif karena keterbatasan aparat hukum. Pencegahan harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan.