Penulis : Iqbal Aji Daryono
JAKARTA|MataSumbar.com – “Monggo Bapak dan Ibu pasang bendera merah putih untuk menyambut hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-76 tahun.”
Begitu bunyi pesan di grup Whatsapp dari Mas Sulis, Pak RT kami. Sebenarnya saya mau mengoreksi kalimatnya, sebab 17 Agustus 2021 nanti bukan hari kemerdekaan, melainkan peringatan hari kemerdekaan. Saya juga gatal ingin menghapus kata “tahun” di akhir kalimat itu, lalu menutupnya dengan pertanyaan, “Maaf Mas Sulis, ini sebenarnya kemerdekaan bangsa Indonesia, atau kemerdekaan nasion Indonesia? Apa itu bangsa?”
Tetapi saya tahu pertanyaan ruwet seperti itu akan menciptakan masalah baru di sela-sela suasana kampung yang tegang akibat empat warga meninggal karena Covid. Maka, saya pun memilih diam saja, dan segera bertanya kepada istri saya di mana dia menyimpan bendera.
“Waduh, kita tuh nggak punya bendera e, Paaak!” jawab istri saya dari kamar sebelah.
“Lhadalah. Kok bisa?” Saya menyahut seperti itu buat pantes-pantes saja, pura-pura agak kaget. Pura-pura saja kagetnya, sebab saya sadar bahwa memang sudah bertahun-tahun kami tidak pernah memasang bendera merah putih, tidak punya simbol-simbol apa pun yang melambangkan keindonesiaan di rumah kami, tak ada gambar Garuda Pancasila, apalagi foto presiden dan wakilnya.
Dari situ, saya jadi ingat peristiwa beberapa hari sebelumnya saat menemani anak saya belajar PPKn. Saya mengomel agak panjang karena anak saya yang naik kelas enam itu ternyata belum paham bagaimana sejarah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, dan bagaimana semua itu mengantarkan jalan cerita menuju Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Keterlaluan sekali, kan? Kelas enam lho ya!
Maka, sebagai manusia biasa sekaligus orangtua murid pada umumnya, langkah logis pertama yang saya lakukan adalah diam-diam menyalahkan gurunya. Sialnya, menyalahkan para guru pada masa sekolah daring begini sama sekali bukan tindakan etis mengingat segenap keterbatasan teknis, bukan pula langkah yang taktis secara politis. Jadilah, saya lebih memilih mewajibkan anak saya itu untuk segera menonton video Youtube tentang sejarah kemerdekaan kita.
Dan, betapa sebalnya saya melihat ekspresi anak itu yang tampak sangat tidak berminat untuk menjalankan amanat kebangsaan dari bapaknya, bahkan tugas tersebut tidak juga ia jalankan hingga tiga hari setelahnya. Ingin saya mengomel lagi, sampai kemudian saya sadar bahwa bapak-ibunya sendiri memang tidak pernah mengajarkan apa itu makna mencintai negeri.
Tentu bukan karena alasan ideologis apa-apa ketika kami tidak mengajarkan itu semua di ruang-ruang keluarga. Termasuk ketika kami tidak memiliki bendera dan lambang Garuda, semua itu sekadar karena malas saja, karena tidak menganggap benda-benda itu perangkat primer yang wajib ada.
Dan, saya kok tidak yakin bahwa Anda-Anda yang segenerasi dengan saya, apalagi yang jauh lebih muda, masih sangat peduli dengan yang begitu-begitu. Kalau toh Anda punya bendera, paling-paling alasannya teknis-administratif belaka, yaitu karena instruksi Pak RT atau kepala desa. Iya, kan? Sudahlah, kita mengaku saja sama-sama.
Mungkin para bapak bangsa akan menangis melihat kita. Tetapi kita akan bisa menjelaskannya.
Kemarin sore, dari sebuah tautan Youtube, saya menonton salah satu bapak bangsa itu. Bung Karno. Dia sedang berpidato dalam bahasa Inggris di sebuah forum entah apa, dan beberapa kali menekankan tentang betapa beratnya Indonesia dijajah 350 tahun lamanya.
Saat menonton itu, bukan semacam api nasionalisme yang menyala-nyala yang menyembul dalam dada saya. Jujur saja, tidak. Yang muncul dalam ingatan saya malah sampul buku karya sejarawan G.J. Resink dalam edisi bahasa Indonesia, dengan judul berhuruf besar-besar: Bukan 350 Tahun Dijajah.
Aduh. Kenapa begini? Dulu kala, ketika saya masih SD di masa Orba, pidato semacam itu mungkin akan membuat saya tak sabar menunggu Senin pagi, ketika kami harus melaksanakan upacara bendera. Tetapi sekarang betapa mudahnya kita mendapatkan akses atas banyak sekali informasi baru. Hasilnya, di satu sisi mungkin kita jadi lebih kritis dan cerdas, tapi di sisi lain imajinasi-imajinasi heroisme kepahlawanan luntur pelan-pelan.
Kita saat ini dengan mudah memahami bahwa pernyataan Sukarno itu keliru secara fakta sejarah. Indonesia tidak dijajah Belanda selama 350 tahun. Bahwa VOC berbisnis dan menjalankan praktik-praktik kolonialisme di Nusantara sejak abad ke-17, itu dapat diakui. Tetapi ada banyak wilayah di Nusantara yang tidak dikuasai Belanda selama itu, apalagi Belanda sebagai sebuah negara. Bahkan Kerajaan Aceh saja baru takluk pada awal abad ke-20, tidak sampai setengah abad sebelum Indonesia merdeka.
Narasi penjajahan 350 tahun itu konon awalnya merupakan dongeng glorifikasi dari kolonial sendiri, namun belakangan justru digunakan oleh para bapak bangsa sebagai narasi pembangkit nasionalisme. “Seluruh Nusantara dijajah selama ratusan tahun! Ayo bersatu! Tetap merdeka!” ibaratnya begitu, dan jiwa kebangsaan pun terbentuk dengan instan dan meledak-ledak.
Maka, ketika sekarang ini atas nama “kebenaran-ilmiah-historis” kita membuka fakta-fakta baru yang bertentangan dengan narasi itu, ya jangan heran kalau ledakan nasionalisme itu tak sehebat dulu.
Itu baru satu contoh kasus terkait fakta durasi penjajahan. Belum lagi tentang narasi-narasi kepahlawanan. Tentang kepahlawanan Sultan Hasanuddin yang “dinetralkan” dengan kisah kekejaman perbudakan atas rakyat Bone yang dijalankannya, misalnya. Juga tentang Arung Palakka yang tadinya digambarkan sebagai pengkhianat bangsa karena bekerja sama dengan VOC saat menyerang Hasanuddin, tapi kemudian kacamata sejarah kritis membersihkan namanya, sebab ia semata-mata membela rakyatnya.
Atau tentang tentang Tuanku Imam Bonjol yang dibongkar bahwa ternyata ia membawa paham keagamaan tekstualis lalu menghabisi penganut tradisi lokal dan itu semua merusak citra kepahlawanannya. Juga tentang Sultan Agung yang melakukan “pelanggaran HAM” karena membantai bawahannya yang kalah perang berikut keluarganya sampai bayi-bayinya, meskipun tentu saja di zamannya belum dikenal apa itu HAM. Dan sebagainya dan sebagainya, masih ada puluhan contoh kritik sejarah lainnya.
Jadi, lanskap pengetahuan yang melatarbelakangi penyemaian nasionalisme itu memang sudah sangat berbeda. Dulu kala, satu-satunya sumber wacana sejarah kita adalah buku-buku pelajaran yang memosisikan sejarah sebagai pembangkit semangat kebangsaan. Tapi sekarang, ketika keran informasi berpayung demokrasi dibuka selebar-lebarnya, ketika arus wacana tidak lagi tunggal dan top down dari Departemen Pendidikan dan Departemen Penerangan atau Pusat Sejarah TNI, versi sejarah yang dapat kita baca bukan lagi segala cerita yang serba luar biasa.
Nah, dalam situasi seperti ini, bagaimana bisa Anda membayangkan anak-anak kita yang sudah pada terampil nonton Youtube akan punya standar nasionalisme yang sama dengan seorang anak sekolah di era Pangkopkamtib Sudomo?
Saya tahu, situasi ini mungkin mengancam eksistensi entitas politik bernama negara. Dari situ bisa terbuka celah masuk ideologi yang merusak kemaslahatan bersama, semacam khilafah-khilafahan itu dan sebagainya. Repotnya, mengharapkan tumbuhnya imajinasi kolektif berupa nasionalisme seperti dulu kala di saat mitos-mitos pembangun imajinasi itu tak lagi bisa terbentuk sempurna, tentu akan menjadi harapan yang naif belaka, bahkan sia-sia.
Lebih-lebih, semua perubahan lanskap itu didukung oleh pesatnya laju teknologi informasi. Siapa memangnya yang mampu membendung teknologi? Apakah seruan kepak sayap kebhinnekaan di baliho-baliho itu bisa mengatasinya? Saya kok tidak begitu percaya.
Ah, entahlah. Mending saya memastikan saja bahwa anak saya sudah menjalankan tugasnya menonton Youtube sejarah kemerdekaan Indonesia. Dan besok pagi saya mau membeli bendera. Sampean mau nitip juga?