Ni Made Inna Dariwardani Statistisi Muda Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali
JAKARTA|MataSumbar.com – Sinyal pemulihan ekonomi Indonesia mulai terlihat pada paruh pertama 2021 ini. Data pertumbuhan ekonomi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Triwulan 2 tahun ekonomi Indonesia tumbuh 7,07 persen (year on year).
Meskipun pertumbuhan yang relatif tinggi ini secara teknis penghitungan disebabkan oleh low base effect yaitu kondisi Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun drastis di triwulan yang sama tahun sebelumnya (2020 – masa awal pandemi Covid-19), namun kinerja ekonomi yang sudah mulai membaik ini setidaknya bisa menjadi langkah awal percepatan pemulihan ekonomi ke depannya.
Indikator lainnya menunjukkan sinyal positif dibanding 2020 seperti turunnya angka pengangguran dan kemiskinan. Namun demikian, jika ditilik lebih dalam data pertumbuhan ekonomi Triwulan 2 yang dirilis BPS, pemulihan ekonomi tampaknya belum menunjukkan perbaikan yang signifikan setidaknya pada dua lapangan usaha yaitu Transportasi dan Pergudangan serta Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum.
Jika dibandingkan dengan masa sebelum pandemi (Triwulan 2 – 2019) kedua lapangan usaha ini masih terkontraksi cukup dalam yaitu masing masing 13,43 persen dan 5,13 persen.
Bahkan industri Angkutan Udara menjadi yang terparah dengan kontraksi lebih dari setengahnya (53,06 persen) atau bisa dikatakan pandemi Covid-19 telah membuat output industri ini berkurang lebih dari setengahnya (perbandingan PDB harga konstan industri angkutan udara Triwulan 2 – 2021 terhadap hal yang sama di Triwulan 2 – 2019). Dengan cara yang sama tercatat penurunan output industri Penyediaan Akomodasi juga masih tinggi yaitu sebesar 18,95 persen dibanding masa sebelum pandemi.
Tidak bisa dipungkiri pembatasan sosial yang dilakukan guna mencegah penularan Covid-19 merupakan penyebab terseoknya lapangan usaha Transportasi dan Pergudangan serta Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum ini; keduanya identik dengan industri pariwisata. Maka tidaklah salah prediksi sejumlah pihak yang menyebutkan pariwisatalah menjadi yang terakhir pulih selama dan pasca pandemi.
Kerangka Kebijakan
Pemulihan industri pariwisata nasional memerlukan sebuah kerangka kebijakan yang komprehensif dan terarah. Penelitian yang dilakukan oleh Sharma, G.D., Thomas, A., & Paul, J. (2021) berjudul Reviving tourism industry post-COVID-19: A resilience-based framework yang dipublikasikan dalam Jurnal Tourism Management Perspectives Vol 37 Tahun 2021, menghasilkan sebuah kerangka kebijakan pemulihan pariwisata yang diberi nama resilience-based framework.
Dalam kerangka ini, pandemi Covid-19 dipandang sebagai sebuah tantangan global dan industri pariwisata harus mampu melakukan adaptasi dengan keadaan atau krisis ini.
Dalam resilience-based framework, terdapat setidaknya empat faktor yang membuat industri pariwisata menjadi resilience dalam konteks pemulihan ekonomi di masa maupun pascapandemi. Pertama, respons pemerintah, yang merupakan faktor krusial dalam upaya penyelamatan semua industri tak terkecuali pariwisata.
Hampir semua pemerintahan di dunia ini pun memberikan stimulus kebijakan untuk penyelamatan industri pariwisata. Indonesia sendiri bahkan sudah menggelontorkan hampir Rp 3,3 triliun pada 2020 guna pemulihan pariwisata nasional melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan akan dilanjutkan pada 2021 sebesar Rp 2 triliun untuk Gerakan Bangga Berwisata di Indonesia. Juga stimulus sebesar Rp 400 miliar untuk program terkait pemberdayaan UMKM dan sektor pariwisata lokal.
Kedua, inovasi teknologi, yang akan menjadikan pariwisata sebagai industri yang lebih fleksibel. Digitalisasi pariwisata khususnya pada masa pandemi harus sesegera mungkin dilakukan. Salah satu program digitalisasi pariwisata yang diluncurkan oleh Menparekraf pada Maret 2021 lalu adalah peluncuran Go Mandalika, yang merupakan platform digital pariwisata (e-tourism) yang digagas oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah.
Barangkali platform-platform digital seperti ini telah dimiliki banyak daerah maupun objek wisata, hanya perlu diintegrasikan menjadi suatu sistem e-tourism secara nasional.
Ketiga, kepemilikan lokal sebagai “penyelamat” industri pariwisata di tengah pembatasan antarwilayah guna mencegah penularan Covid-19. Wisatawan domestik diharapkan bisa menjadi pangsa pasar yang menjanjikan saat ini mengingat belum ada tanda-tanda akan dibukanya kedatangan wisatawan mancanegara. Namun demikian ke depannya diharapkan segera terealisasikan mekanisme travel bubble atau travel corridor untuk wisatawan mancanegara.
Tentu saja mekanisme ini hanya bisa dilakukan jika antarnegara memiliki keterikatan yang muncul karena adanya perasaan memiliki terhadap daerah tujuan wisata sehingga mau tidak mau unsur local belongingness menjadi persyaratan untuk bangkitnya industri pariwisata ini.
Terakhir, kepercayaan konsumen dan pelaku pariwisata. Pandemi telah mengubah persepsi masyarakat terhadap industri pariwisata, salah satunya terkait layanan dan produknya. Kini, konsumen pariwisata akan lebih concern terhadap aspek kesehatan dan keselamatan dari layanan dan produk yang ditawarkan industri ini. Sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety & Environment Sustainability) misalnya, akan mempengaruhi keputusan konsumen untuk memilih akomodasi maupun destinasi yang akan mereka kunjungi.
Dari sisi supply, para pelaku pariwisata juga harus didorong untuk bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dengan menyesuaikan business process maupun Standard Operational Procedure (SOP) usaha pariwisata yang mereka miliki termasuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya.
Transformasi
Dalam resilience-based framework, pandemi Covid-19 ini tidak hanya dipandang sebagai tantangan bagi industri pariwisata, namun juga sebagai peluang untuk bertransformasi, yaitu proses memulai kembali (restarting), mengatur ulang (organizing), dan mengasimilasi industri pariwisata sesuai dengan standar dan aturan terbaru yang diperlukan untuk menghidupkan kembali industri ini.
Pada era post Covid-19 nantinya, industri pariwisata diharapkan mampu menjawab tantangan global. Karena setelah melewati fase resilience, industri pariwisata selanjutnya diharapkan mampu bertransformasi menjadi sebuah industri yang tidak hanya bersifat berkelanjutan (sustainable), namun juga mampu memberi kesejahteraan pada masyarakat luas (well being of society), mampu memitigasi perubahan iklim, dan melibatkan masyarakat lokal sebagai sentra perubahan.
Pemulihan industri pariwisata bisa dikatakan sebagai jalan terjal yang harus dilalui tidak hanya oleh Indonesia, namun juga semua negara di dunia. Optimisme akan kebangkitan kembali industri ini harus tetap dijaga mengingat secara historis industri ini terbukti mampu bangkit kembali dengan cepat dari beberapa krisis seperti krisis ekonomi, bencana alam, maupun wabah (Ebola, SARS, MERS, dan sebagainya).
Penanganan pandemi Covid-19 tentunya menjadi kunci utama pemulihan ekonomi termasuk pariwisata. Untuk itu, upaya pemerintah untuk segera mengakhiri pandemi ini harus sepenuhnya didukung dengan tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan dan berpartisipasi dalam program vaksinasi.