JAKARTA, MataSumbar.com – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim tentang konsep Merdeka Belajar masih jauh dari harapan.
“Di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap 2 Mei. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di era Pandemi COVID-19 ternyata makin menunjukkan bahwa merdeka belajar dan pembelajaran yang menyenangkan di dunia pendidikan kita masih jauh dari harapan,” kata Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 2 Mei 2020 dilansir dari detiknews.com
Kesan tersebut, kata Retno, tampak dalam survei yang diadakan KPAI tentang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) kepada guru dan siswa. Survei itu dilaksakan pada 13-21 April 2020 serta diikuti oleh 1.700 siswa dan 602 guru dari jenjang SD hingga SMA/sederajat yang tersebar di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota.
Dalam survei itu, Merdeka Belajar tidak terjadi dalam proses pembelajaran selama masa pandemi COVID-19. Hal ini tampak melalui guru yang masih mengejar ketercapaian kurikulum, hanya memfokuskan pada aspek kognitif, hingga penugasan dari guru yang masih memberatkan siswa.
“Patut menjadi perhatian serius adalah masih adanya guru sebesar 29,6 persen, yang mengisi aktivitas pembelajaran hanya dengan memberikan tugas. Tentu hal ini bertentangan prinsip pembelajaran yang bermakna atau meaningfull learning dan Merdeka Belajar,” ujar Retno.
Hasil survei juga menyatakan proses pembelajaran jarak jauh masih belum memperhatikan keragaman dan kondisi peserta didik. Diamana, sebanyak 58 persen guru masih memberikan tugas melalui aplikasi daring. Sementara, masih terdapat siswa yang memiliki keterbatasan sarana seperti akses gawai, laptop, atau internet.
“Artinya metode pembelajaran malah makin meminggirkan hak-hak anak yang tidak mampu secara sarana. Metode yang dipakai masih terjebak dengan pola ‘penyeragaman’, tanpa melihat kemampuan ekonomi siswa dan orang tua. Hanya 8,8 persen guru yang memberikan tugas berbeda kepada siswa sesuai dengan akses yang dimiliki siswa baik dari sisi peralatan maupun jaringan atau kelas ekonomi,” tutur Retno.
Lebih lanjut, Retno meminta Kemendikbud kembali merefleksikan makna dari Merdeka Belajar. Menurutnya, hingga saat ini merdeka berpikir dan bernalar masih belum menjadi budaya dalam Pendidikan Indonesia.
“KPAI mendorong Kemdikbud memaknai dan merefleksi kembali ‘Mereka Belajar’ agar sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang setiap 2 Mei hari kelahirnya kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Merdeka berpikir dan bernalar belum menjadi budaya di pendidikan kita, sikap kritis kerap dianggap sok tahu atau malah kurang ajar,” kata Retno
Retno mengatakan pembenahan di bidang Pendidikan tidak hanya sekadar membuat kebijakan semata, melainkan harus diikuti dengan tindakan nyata. Menurut Retno, kebijakan Merdeka Belajar hanya menjadi jargon semata jika pemerintah tidak melakukan intervensi lebih lanjut.
“Pembenahan tidak cukup hanya dengan membuat kebijakan ‘merdeka belajar’ saja, akan tetapi harus disertai tindakan nyata yang massif hingga ke ruang-ruang kelas. Selama Dinas-dinas Pendidikan dan Kanwil Agama di daerah tidak memperlakukan guru sebagai manusia merdeka, maka guru akan memperlakukan siswanya juga bukan manusia merdeka,” kata Retno.
“Guru juga bingung memaknai belajar merdeka, oleh karena itu tetap harus ada intervensi dalam membangun budaya merdeka di lingkungan pendidikan kita agar makna ‘merdeka’ betul-betul dapat dirasakan dan dipahami semua pihak, dari atas sampai bawah, jika tidak ada intervensi dalam pembenahan maka kebijakan merdeka belajar hanya jargon tanpa makna,” sambungnya.
Selain itu, KPAI juga mengimbau agar Kemendikbud dan Kemenag membuat kurikulum darurat selama masa pandemic COVID-19. Hal ini dimaksudkan agar PJJ yang dilakukan tidak memberatkan siswa dan guru.
“KPAI mendorong Kemdikbud dan Kemenag menetapkan kurikulum dalam situasi darurat, misalnya memilih materi-materi esensial dan utama saja yang diberikan selama masa PJJ” tuturnya.
Materi yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dan perlu bimbingan guru secara langsung sebaiknya ditiadakan. Materi yang diujikan dalam kenaikan kelas sebaiknya materi yang sudah dibahas sebelum kebijakan belajar dari rumah. Dengan demikian tidak membebani siswa maupun guru,” ucap Retno, (*).