Oleh Dr. Siska Elvandari, SH., MH
Sekretaris Pekat-IB Kabupaten Padang Pariaman dan Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Andalas
Matasumbar.com – Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Salah satu upaya pemerintah yang saat ini sedang menjadi “trending topics”, adalah pemberian vaksinasi.
Pemberian vaksinasi kepada masyarakat di latar belakangi dengan berbagai dasar pertimbangan. Pertama, dasar pertimbangan filosofis dengan mengacu pada Pasal 28 H dan Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945 dan Pancasila, sehingga dapat disimpulkan, bahwa kesehatan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) isu yakni sebagai isu hukum dan isu HAM.
Kesehatan sebagai isu hukum sudah sangat jelas Pemerintah sudah membentuk Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Keputusan Presiden No.12 Tahun 2020 tentang Penetapan sebagai bencana non alam penyebaran Covid-19, Undang-undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, serta Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2020 tentang Adaptasi Kebiasaan Baru Dalam Upaya Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Kesehatan sebagai isu HAM, dapat dilihat upaya Pemerintah membentuk Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga dapat dimaknai bahwa pemberian vaksinasi merupakan hak setiap warga negara, yang perlu dibatasi dengan mengacu pada hak individu sendiri untuk menentukan nasib sendiri terhadap tubuhnya untuk menerima atau menolak pemberian suatu upaya kesehatan.
Menerima ataupun menolak tentu juga sebagai bagian upaya untuk melaksanakan tujuan pelayanan kesehatan, seperti mengurangi penderitaan, memperpanjang kehidupan, serta mendampingi pasien sampai akhir kehidupannya.
Kedua, dasar pertimbangan sosiologis. pemberian vaksinasi secara sosiologis harus berpijak pada 3 (tiga) hal, yakni : ingredients/bahan kandungan vaksin “sinovac” harus jelas, dan harus seizin BPOM dan Lembaga MUI juga harus mengeluarkan fatwa kehalalan dari vaksin tersebut, sehingga masyarakat terhindar dari efek samping, mengingat bahwa dalam pelayanan kesehatan sangat terkait dengan resiko medis dan keselamatan pasien (patient safety).
Hal ini sejalan dengan teori Jeremy Bentham yg terkenal dengan adagium : ” The Greatest Happiness For The Greatest Numbers, yang jika diterjemahkan Kebahagiaan sebesar-besarnya ditujukan untuk kebahagiaan masyarakat sebagai upaya memartabatkan masyarakat sebagai manusia seutuhnya dan perikemanusiaan itu sendiri.
Ketiga, Dasar pertimbangan Yuridis menitikberatkan berperannya hukum dalam mengurai permasalahan Covid-19 mengingat kita tidak dapat menutup mata, hati dan telinga telah banyak terjadi kasus-kasus yang tiap hari semakin signifikan menunjukkan, bahwa tenaga kesehatan dan masyarakat banyak yang terpapar Covid-19 yang berakhir dengan kesembuhan dan atau pasien ataupun tenaga kesehatan meninggal dunia.
Tentu saja ini menjadi bahan evaluasi kita bersama untuk menyandingkan peran hukum pidana dan hukum kesehatan dalam upaya meminimalisir memutus mata rantai penyebaran Covid-19 ini, meskipun demikian Pemerintah melalui kebijakan untuk melakukan vaksinasi tersebut seharusnya bersifat sebagai anjuran, bukan mewajibkan rakyat atau masyarakat untuk menyetujui pelaksanaan vaksinasi tersebut.
Hal ini sejalan dengan teori yang pernah dikemukakan oleh K. Bertens tentang nilai dan moral, dan izinkan saya menganalogikan jika disini terbagi ada 2 (dua) nilai yang secara filosofis di bedakan atas Pro Choice dan Pro Life. .
Pro Choice disini bukan untuk memilih atau tidak memilih untuk mengikuti anjuran Pemerintah, karena hal ini terkait nyawa pasien dan atau tenaga kesehatan, dan tentu saja ketika terkait nyawa tidak bisa menjadi sebuah pilihan.
Selanjutnya, Pro Life disini dapat diartikan sebagai hak untuk hidup dan hak untuk mempertahankan kehidupan. Disini sudah jelas biarkan rakyat atau masyarakat sendiri yang menentukan apakah dia menyetujui atau menolak pemberian vaksin ini yang sudah dianjurkan Pemerintah, karena hal ini sudah sesuai dengan amanah Pasal 5 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Sebagai perbandingan, hal ini juga di atur dalam Pasal 9 juncto Pasal 93 Undang-Undang No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang memberikan ancaman pidana terhadap orang yang dianggap sebagai menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Hal ini tentu tidak serta merta bisa dianggap seperti itu, karena ancaman pidana selalu bersifat sebagai “upaya yang terakhir” atau ‘ultimum remedium”, mengingat tujuan hukum pidana memberikan upaya perlindungan terhadap kejahatan tubuh dan nyawa.
Selanjutnya, dalam pelayanan hukum kesehatan juga di kenal adanya resiko medis sebagai wujud inti dalam upaya mewujudkan keselamatan pasien, jadi disini Pemerintah juga harus sadar diri terkait resiko medis dalam pemberian vaksinasi yang di wajibkan kepada rakyat dan atau masyarakat sendiri sebagai upaya mewujudkan tujuan pelayanan kesehatan, yakni : mengurangi penderitaan, memperpanjang kehidupan, dan mendampingi pasien sampai akhir kehidupannya sebagai upaya memartabatkan rakyat, dan atau masyarakat sebagai manusia seutuhnya dan perikemanusiaan itu sendiri.