Matasumbar.com – Aksi penyampaian aspirasi terkait hak Tanah Ulayat yang dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Uma Taileleu dan Sakoikoi dari Dusun Taraet, Desa Betumonga, Kecamatan Sipora Utara, Kepulauan Mentawai beberapa waktu lalu ditanggapi oleh Pemerintah setempat.
Ratusan tanda tangan warga desa Betumonga telah diserahkan beberapa perwakilan kaum. Berkas telah diterima oleh Bupati Mentawai dan mendapatkan sambutan baik dari Pemerintah.
Diketahui beberapa Minggu lalu pada Selasa 28 Oktober 2025, warga desa Betumonga Taraet dan Matuptupman datang menyampaikan aspirasi terkait Hak Tanah Ulayat (Tanah Adat) yang diplang Satgas PKH.
Dalam aksi itu masyarakat langsung menyampaikan kepada Bupati Mentawai Rinto Wardana, Wakil Bupati Mentawai Jakop Saguruk serta Ketua DPRD Mentawai Ibrani Sababalat di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepulauan Mentawai.
Saat orasi penyampaian aspirasi terkait hak tanah ulayat, Bupati dan Ketua DPRD maju kedepan dan menengarai suasana hiruk pikuk masyarakat yang mendesak masuk halaman kantor hingga berakhir dilakukan dialog dari beberapa perwakilan masyarakat.
Saat berdialog bersama Bupati Mentawai, Rinto Wardana menyampaikan, bahwa akan mendukung penuh tujuan dari aksi penyampaian aspirasi Aliansi Masyarakat Adat Desa Betumonga yang datang langsung menghadap dan mau berdiskusi dengan tertib.
Menanggapi permasalahan yang terjadi dimasyarakat, Bupati memberikan dukungan dan berusaha untuk menyampaikan aspirasi masyarakat di tingkat yang lebih tinggi salah satunya dihadapan DPR RI Komisi IV untuk dibahas lebih lanjut.
Dalam hal ini, Bupati meminta kekuatan dari masyarakat dengan membuat dan melakukan penandatanganan Surat Pernyataan Moral (Tanda Tangan Warga) sehingga ada bahan serta lampiran untuk menyampaikan aspirasi masyarakat tersebut ke pihak yang berwenang dalam hal ini adalah Panglima TNI, Menteri Kehutanan (Kemenhut RI), Menteri BPN/ATR, dan Komisi IV DPR RI.
Pendamping kuasa hukum pihak kaum Rudianto Sitorus mengatakan, polemik hak lahan ulayat yang di plang Satgas PKH ini di harapkan aspirasi masyarakat segera ditindaklanjuti agar persolan bisa terselesaikan sehingga hak masyarakat banyak terjawab.
“Kita berharap kepada Bupati dan jajaran bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat kepada pemerintah pusat dan segera ditindaklanjuti”, ucap Rudianto usai penyerahan berkas tanda tangan masyarakat.
Sementara itu, Mangasa Taileleu sebagai perwakilan kaum mengatakan, bahwa salah satu tuntutan masyarakat agar lahan masyarakat yang di klaim sebagai Kawasan Hutan Produksi harus dibebaskan termasuk Hak Pengelolaan (HPL) yang di klaim oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Ia berharap melalui aspirasi yang dilakukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai bisa tersampaikan dan diteruskan ke pusat, sehingga ada jawaban atas hak masyarakat Desa Betumonga terkait larangan mereka untuk melakukan aktivitas berkebun di wilayah yang diklaim sebagai Kawasan Hutan, ujar Mangasa setelah penyerahan berkas tanda tangan masyarakat yang diterima Sespri Bupati Mentawai, Selasa (18/11/2025)
“Kami berharap kepada Pemerintah supaya hak kami masyarakat bisa diperjuangkan agar kembali kepada kaum kami”, pungkasnya.
Adapun delapan tuntutan masyarakat adat Taileleu yang disampaikan kepada Pemerintah saat aksi penyampaian aspirasi sebagai berikut:
1. Mencabut Plang yang dipasang oleh Satgas PKH di lahan kami.
2. Menuntut Pemerintah Daerah dan DPRD Kepulauan Mentawai untuk,
a. Melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam
b. Menolak kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan mitra Kami
c. Menyelesaikan batas wilayah secara partisipatif.
3. Mendesak pembentukan Tim Klarifikasi dan Delimitasi Wilayah Adat dengan melibatkan tokoh adat, akademisi, BPN, dan instansi teknis.
4. Meminta Pemerintah Pusat meninjau kembali pelaksanaan Perpres No. 5 Tahun 2025 agar tidak menjadi dasar pemidanaan terhadap masyarakat adat.
5. Jika lahan kami telah diklarifikasi sebagai APL (Areal Penggunaan Lain) atau kami memiliki alas hak berupa PHAT (seperti yang diakui oleh Desa atau BPN setempat), maka aktivitas ekonomi yang kami lakukan di lahan tersebut adalah sah secara hukum perdata dan agraria. Kami menolak penerapan hukum kehutanan dalam bentuk pemidanaan.
6. Menuntut pemulihan hak ekonomi masyarakat adat atas penghentian kegiatan diwilayah APL.
7. Segera terbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan bekerja secara transparan untuk memverifikasi dan memetakan batas-batas Wilayah Adat kami.
8. Kami menuntut agar seluruh proses pemetaan batas Wilayah Adat dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang terukur, sehingga members kepastian hukum dan tata ruang bagi masyarakat Mentawai, (*).
Editor : Tim Redaksi













