JAKARTA,MataSumbar.com – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI). Sekaligus Sekjen Majlis Pers. Ozzy Sulaiman Sudiro. “Gugat Hari Pers Nasional”. (HPN).
Ozzy mengatakan, “Orde baru boleh pergi, tetapi beberapa warisannya masih lestari hingga kini. Salah satunya: Hari Pers Nasional, yang diperingati setiap tanggal 9 Februari. Sayang, pemerintahan Joko Widodo turut melestarikannya” .Ucapnya.
“Penetapan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional diputuskan melalui Surat Keputusan Presiden No. 5/1985 . Jadi, secara resmi, peringatan Hari Pers Nasional baru dimulai pada tahun 1985. Padahal, geliat pers nasional sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu”. Ujarnya.
Ia menjelaskan, “Penetapan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional cukup kontroversial. Ada beberapa alasan mengapa penetapan Hari Pers Nasional perlu digugat. Pertama, penetapan Hari Pers Nasional diputuskan melalui SK yang dikeluarkan oleh rejim Soeharto. Pengusul tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional adalah seorang tokoh orde baru, Harmoko, yang saat itu memimpin ketua PWI Pusat.
Penetapan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional dengan kepentingan penguasa saat itu. Selain itu, rejim orde baru punya rekam jejak anti kemerdekaan pers. Sejak 1965 hingga 1998, rejim orde baru berkali-kali membredel media massa.
PWI sendiri adalah satu-satunya organisasi yang mengakui masa depan orde baru. Dengan demikian, penetapan hari lahir PWI sebagai Hari Pers Nasional hanya akan menetapkan taklukan dunia terhadap pers.
Kedua, penetapan Hari Pers Nasional mengacu pada kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), 9 Februari 1946. Akan tetapi, dalam sejarah Indonesia, PWI organisasi wartawan pertama di Indonesia.
Jauh sebelumnya, yakni pada jaman pergerakan anti-kolonialisme, para jurnalis dan aktivis sudah membentuk organisasi wartawan. Pada tahun 1914, Mas Marco Kartodikromo sudah menyiapkan Inlandsche Journalisten Bond (IJB).
Organisasi wartawan lain sebelum PWI adalah Sarekat Journalists Asia (1925), Perkoempoelan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940).
Ketiga, penetapan Hari Pers Nasional, mengacu pada kelahiran PWI (1946), mengabaikan andil para perintis pers Indonesia dan sejarah panjang perjuangan pers nasional Indonesia “. Tegasnya.
Disamping itu, “Taufik Rahzen, yang cukup lama meneliti tentang sejarah pers nasional, mulai tanggal publikasi pertama Medan Prijaji, koran pribumi pertama yang dinahkodai oleh Tirto Adhisuryo, sebagai tonggak sejarah Hari Pers Nasional: 1 Januari 1907.
Takashi Shiraishi, penulis buku “Zaman Bergerak”, menyebut Tirto sebagai bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui tulisan. Tidak hanya itu, berkat kepandaian yang ditulis dan ketajaman fikiran, Tirto juga model perjuangan nasional modern: koran dan organisasi.
Ini sejalan dengan Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara, salah satu Bapak Bangsa kita, yang bilang begini: “Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo, ada seorang wartawan modern yang menarik perhatian karena lancar dan tajamnya pena yang ia pegang, yaitu almarhum RM Djokomono , kemudian diganti dengan nama Tirto Adhi Soerjo. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan jurnalistik “. Jelas Ozzy.
Akan tetapi, versi lain juga menyebutkan bahwa berita Prijaji Medan koran pribumi yang pertama. Di Sumatera, sejumlah koran berbahasa Melayu, yang juga digawangi oleh kaum pribumi, sudah terbit. Selain itu, jika ukurannya adalah orang pribumi dan bahasa Melayu, maka kiprah Abdul Rivai tidak boleh diabaikan. Pada tahun 1900, Abdul Rivai sudah menerbitkan koran berbahasa melayu, Pewarta Wolanda. Lalu, pada tahun 1902, Abdul Rivai menerbitkan koran berhasa Melayu: Bintang Hindia.
Sementara itu, kalau kita mencari jejak sejarah pers pertama kali di Indonesia, maka 160-an tahun sebelum Medan Priayi sudah ada koran di tanah Hindia-Belanda: Bataviasche Nouvelles. Koran ini terbit di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1744-1746 .
Ditambahkan Ozzy, “Jika pers kita anggap tiang penting dari bangunan kebangsaan kita, maka penetapan sudah sepantasnya ditetapkan Hari Pers Nasional ditinjau ulang. Bagi kami, Hari Pers harus ditautkan dengan sejarah kebangkitan nasional.
Sebab, seperti dikatakan Ben Anderson, terbentuk dan berkembangnya sebuah bangsa tak terlepas dari andil kapitalisme cetak, termasuk pers. Dan memang, jika ditelisik ke sejarah nan jauh di masa silam, terbentuknya bangsa Indonesia tidak akurat oleh aktivitas literasi dan pers. Bapak-Ibu Pendiri Bangsa Indonesia adalah penulis sekaligus penggerak surat kabar.
Karena itu, sangat janggal, bahkan ahistoris, jika meletakkan Hari Pers Nasional di hari lahir PWI. Sebab, PWI baru berdiri setelah Proklamasi Kemerdekaan. PWI hanya salah satu anak dari Proklamasi Kemerdekaan.
Dengan tetap mempertahankan Hari Lahir PWI sebagai Hari Pers Nasional, itu sama saja dengan menyimpan pers dan sejarah terbentuknya bangsa ini. Sama saja dengan memunggungi kontribusi besar bagi pers bagi lahir dan berkembangnya sebuah bangsa bernama: INDONESIA.
Agak janggal juga, jika kita menyebut Tirto Adhisuryo sebagai Bapak Pers Indonesia, tetapi buah keringat dan pikirannya tak berhubungan dengan Hari Pers. Semisal Ki Hadjar Dewantara, kita anggap Bapak Pendidikan, kelahirannya jadi Hari Pendidikan Nasional.
Hanya saja, hari kelahiran Tirto juga belum diketahui. Ia hanya diketahui terlahir 1800. Tetapi tanggal dan bulan berapa, itu belum ada keterangan yang valid. Karena itu, agak berat untuk meletakkan Hari Pers pada Hari Lahir Tirto “. Imbuhnya.
Selanjutnya Ozzy menyatakan, “Jika kita membaca tetralogi Pram dengan seksama, Tirto memang punya kontribusi besar dalam mendorong peningkatan kesadaran bangsa – yang apinya sudah mulai dinyalakan oleh Kartini dan Multatuli (Douwes Dekker).
Dan kerja-besar Tirto untuk memulai itu juga organisasi, Sarekat Prijaji, adalah menggagas pergerakan pertama: Medan Prijaji. Dalam perkembangannya, Medan Priaji bukan hanya sebuah koran, tetapi menjelma sebagai perusahan pers pribumi pertama: NV Medan Prijaji. Perusahaan ini menaungi tiga koran, sekaligus Prijaji, Soeloeh Keadilan, serta Poetri Hindia.
Karena itu, saya setuju dengan ide meletakkan Hari Pers Nasional pada tanggal atau bulan publikasi pertama Medan Prijaji: Januari 1907. Kalau ragu mengambil tanggal 1 Januari, ya kita ambil bulan Januari sekalian. Jadi, Hari Pers Nasional dirayakan sebulan.
“Dan bila kita ingin membersihkan warisan Orde Baru, termasuk warisan buruknya nasional, mulailah dari mengoreksi Hari Pers Nasional” .tutup Ozzy.
Pewarta: Bonar Surya
Kutipan dari artikel MD.