Pengamat Topik Diskusi ke-2 oleh : Indra Gusnady SE, M, Si.
PadangPanjang,MataSumbar.com – Pandemi global virus covid-19 di Indonesia sampai Minggu ketiga Mei 2020, belum menunjukan trend penurunan dan belum bisa dipastikan kapan akan berakhir, seperti yang kita dengar dari beberapa pendapat pakar.
PSBB yang telah dilakukan oleh hampir semua daerah, juga ditengarai belum menunjukan hasil yang signifikan. Pelaksanaan yang terkesan ‘ambigu’ dalam penerapan ‘sosial distancing’ /protokol PSBB dan sebelum sepenuhnya dipatuhi masyarakat.
Pemerintah Pusat sangat menyadari, bahwa peran daerah (Prop/Kab/Kota,) sangat ‘urgent’ dalam memutus rantai penyebaran virus covid-1. Pada beberapa kesempatan Presiden ‘menyentil’ Pimpinan Daerah yang dianggap terlalu lambat dalam mengantisipasi penularan covid-19.
Daerah diberi keleluasaan untuk berinovasi, membuat keputusan penting sesuai kondisi daerah, baik untuk pemberlakuan PSPB maupun pendanaan dalam mengantisipasi/memutus rantai penyebaran covid-19 ini.
Bahkan, dengan dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB 2 menteri) Mendagri-Menkeu Nomor 119/2813/SJ dan 117/KMK.07/2020, sebagai tindak lanjut dari perpu no.1 tahun 2020, Pemerintah pusat ‘memaksa’ daerah untuk merevisi APBD, mengalokasikan minimal 50% belanja langsung (belanja barang, jasa dan belanja modal atau berkisar 20%-35% dari Total APBD) untuk pendanaan kegiatan mengatasi dampak covid-19, disamping pendanaan dari APBN.
“Jadi tidak ada alasan lagi bagi pemerintah daerah untuk berdalih dengan alasan ‘keterbatasan anggaran’ atau hambatan regulasi” paparnya.
Setidaknya ada 3 kelompok kegiatan yang didanai dari realokasi 50% belanja langsung APBD tahun 2020, sebagaimana yang diamanatkan oleh SKB 2 menteri, yaitu.
1. Belanja bidang kesehatan (APD dll),
2. jaringan pengaman sosial (sembako,bantuan tunai.dll).
3. Penanganan Dampak ekonomi (dunia usaha, mikro, kecil, menengah, koperasi).
Kenyataannya, sampai batas waktu yang ditentukan, masih banyak pemerintah daerah yang terlambat atau mengalokasikan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan yg ditetapkan oleh SKB 2 menteri tersebut. Sehingga, Menteri Keuangan Dr.Sri Mulyani harus mengeluarkan Kepmenkeu no.10/KM.7/2020. Kepmenkeu ini pada intinya memberikan teguran, ‘Sanksi’ berupa pemotongan/penundaan 35% transfer DAU bulanan ke daerah (prop/kab/kota) yg tidak memenuhi ketentuan, sanksi itu akan berlanjut setiap bulannya sampai Pemerintah Daerah memenuhi sesuai ketentuan dengan menyampaikan laporan ke- Kementerian Keuangan.
Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, bersama 3 Pemerintah Kota (Padang Panjang, Pariaman, Sawahlunto), dan 7 Kabupaten (Lima puluh kota, Padang Pariaman, Pasaman, Pesisir Selatan, Sinjunjung, Solok, Tanah Datar), termasuk deretan Pemerintah Daerah yang mendapatkan ‘sanksi’ di dalam SK Menkeu tersebut.
Sangat disesalkan sebenarnya, mengingat bahwa inilah kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk bisa membuat langkah2 percepatan memutus rantai penyebaran covod-29, memberikan BTL kepada masyarakat terkena dampak dan mendorong dunia usaha pasca krisis supaya kembali bangkit dengan penganggaran yang memadai, karena dengan aturan keuangan daerah biasa tidak bisa itu dilakukan. Bagi Kepala Daerah yang jeli, malah melihat ini sebagai peluang untuk lebih bisa membantu masyarakatnya. Kembali lagi, tergantung kepada ‘cara memandang’..
Ada pejabat keuangan di daerah yang memberi alasan bahwa dana APBD terbatas untuk melakukan realokasi/pergeseran sebanyak yang dimaksud SKB itu. Apakah memang demikian ?
Mari kita melakukan analisa secara sederhana. Setidaknya, kondisi normal terganggangu akibat pandemic covid-19 sejak awal Maret dan diperkirakan sampai Juni belum kembali normal. Berkaca kepada negara-negara yang telah memasuki massa recovery dibutuhkan penurunan secara perlahan-lahan tidak ‘strike’ turun begitu saja. Katakanlah kita ambil perkiraan optimistis bahwa pada bulan juli pemerintah daerah sudah bisa melakukan kegiatan seperti: rapat-rapat, perjalanan dinas, kegiatan administrasi lainnya yang berhubungan dengan belanja barang dan jas.
Setidaknya, terjadi penghematan untuk Belanja-belanja tersebut selama 4 bulan (Marat – Juni), atau penghematan anggaran lebih kurang 35%. Sedangkan untuk Belanja Modal pemotongan minimal 50% seperti yang diamanatkan SKB 2 menteri dimaksud, pasti bisa diwujudkan mengingat waktu yang tersiksa untuk pekerjaan serta pertimbangan kegiatan apa benar yang urgen dilaksanakan pada kondisi sekarang ini.
Ada juga kesan bahwa pemerintah daerah selama ini bersifat menunggu kebijakan dari pusat. Sehingga, ketika disuruh mengalihkan 50% dari belanja langsung tahun berjalan, ‘kagok’ tidak tahu kegiatan apa yang harus dilakukan dengan anggaran sebanyak itu.
Anggapan seperti yang dikemukakan diatas, ada benarnya, kalau kita ikuti berita-berita dimana Pemerintah Daerah ‘mengekspose’ bantuan-bantuan APD, sembako dan BTL dari kementerian dan lembaga lainnya (pemerintah/swasta), anggota DPRD/partai politik.
Jarang kita denger inisiatif Pemerintah Daerah, menganggarkan dan membuat kegiatan pembuatan masker, sanitizer, sembako dengan melibatkan masyarakat sendiri sebagai pekerja dan penyedianya atau membeli produk-produk hasil pertanian dan olahan masayarakat yg bisa dibagikan untuk masyarakat yang terkena dampak atau membuat ‘platorm’ yang memungkinkan masyarakat tetap berdagang online dengan bekerjasama dengan pekerja ojek yang ada dan dibayar pemerintah daerah.
Jikalau hal-hal seperti itu yang dilakukan akan hidup dan bergerak juga perekonomian daerah. Menjalani PSBB bagi masyarakat terasa tidak begitu berat.
Artinya, banyak program/kegiatan yang bisa dilakukan dengan inisiatif sendiri didaerah tanpa hanya sekedar meniru, ‘manumbok’ program pusat seperti BTL dan pembagian RASKIN. Dibutuhkan kebijakan yang SMART dari pemerintah daerah, karena itulah yang hakikat dari kepmendagri dan Kemenkeu ini. Agar daerah punya ketersedian dana yg cukup dan inovatif dalam membuat kegiatan memutus rantai penyebaran dan yang tak kalah pentingnya menjaga stabilitas perekonomian dan dunia usaha di daerah (yang minim kebijakan daerah).
Didapatkan informasi dari teman di Kementerian Keuangan RI, bahwa jika daerah-daerah yang mendapat ‘sanksi’ itu, bisa mengalokasikan 35% saja dari belanja barang jasanya (disamping belanja modal). maka DAU akan ditransfer utuh untuk bulan-bulan selanjutnya, termasuk yang ditahan.
Semoga pada saat tulisan kecil ini ditulis, Pemerintah Propinsi/kab/kota yg masuk daftar kena sanksi dari SK Menkeu, telah selesai realokasi dan refokusing anggaran minimal 35% untuk kegiatan dampak covid-19.
Bagi yang belum, jangan ‘ngeyel deh’ laksanakan secepatnya daripada menyesal nanti. Ada 2 manfaat tambahan, disamping dengan yang telah disampaikan sebelumnya, yaitu:
1.Menyehatkan ‘harus kas’ Pemda, tersedia persediaan uang cash jika terjadi situasi yg sulit dimasa pandemi covid-19 ini.
2. Tersedianya dukungan anggaran untuk masyarakat di daerah selama pandemi covid-19 dan pasca recovery ekonomi nantinya, dalam bentuk anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) yg cukup tersedia dan pelaksanaanya sesuai kebutuhan. Sambil, merancang kegiatan apa yang bisa membantu dunia usaha, UKM, menggerakkan perekonomian daerah, semasa dan pasca pandemi covid-19.
Pewarta : YB
Editor : Heri Suprianto