PADANG, matasumbar.com – Pasal 34 ayat 2 UU-LH menegaskan UKLUPL hanya berlaku pada kawasan yang telah ditetapkan wajib Amdal dari pemerintah kabupaten/kota atau provinsi.
Sementara, Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan maupun Provinsi Sumatera Barat hingga kini belum membuat kewajiban Amdal di kawasan Mandeh sebagai payung hukum.
Artinya, terjadi kefakuman hukum di sana. Dengan begitu, tidak ada aturan berlaku yang dilanggar terdakwa. Sebab, Indonesia menganut azaz legalitas.
Sementara pada pasal 109 terungkap suatu kegiatan wajib memiliki dokumen lingkungan seperti UKLUPL hanya pada kawasan yang telah ditetapkan wajib Amdal.
“Kalau tidak ada aturannya, bagaimana kita menghukum orang,” ungkap Pakar Hukum Pidana Lingkungan Unand, Sukanda Husin di Padang, Minggu (8/12/2019).
Pada sidang ke-13 kerusakkan mangrove di Mandeh, Kamis 5 Desember 2019, JPU Yeni Puspita menyebut kegiatan terdakwa tidak memiliki izin lingkungan.
Akibatnya, terjadi kerusakkan mangrove di lokasi itu. Sampai saat ini, lanjut Sukanda Pemkab Pessel dan Pemprov Sumbar belum menetapkan wajib Amdal di kawasan Mandeh.
Kemudian ketika seseorang dituduh merusak lingkungan, harus jelas terlebih dahulu kerusakan apa yang diperbuatnya. Apalagi mangrove memiliki standar baku mutu.
Dalam Kepmenhut 201 tahun 2004 tentang Ambang Batas dan Kriteria Kerusakan Hutan, mangrove dikatakan rusak jika kerusakannya melebihi 50 persen dalam satu kesatuan.
Mengitung kerusakan bukan hanya dari yang rusak saja seperti disampaikan saksi ahli JPU, Nyoto di sidang ke-12. Ia bersaksi kerusakan mencapai 100 persen.
Pengitungan yang benar, harus diambil dari tiga plot (titik), karena kerapatan di satu titik berbeda dengan yang lain. “Ya, itu merujuk lampiran 1 Kepmenhut 201,” terang Sukanda.
Penegakkan hukumnya mengedepankan sanksi administrasi. Semua tunduk pada penjelasan umum alinea ke-6, sesuai azaz primum remidium yang dianut UU nomor 32 tahun 2009 tentang LH.
Pada pasal 100, pidana diberikan saat sanksi administrasi tidak dipatuhi. Ia lahir untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan, bukan menghambat pembangunan.
Kegiatan yang terlanjur berjalan, tapi belum memiliki izin lingkungan hanya dikenai sanksi administrasi. “Itu di Permen nomor 3 tahun 2013 dan SE Menteri nomor 7 tahun 2016,” ujarnya.
Karena itu, pejabat administrasi harus bisa menegur jika ada perbuatan yang melanggar hukum lingkungan. Jika tidak, pejabat bisa dituntut pasal 111 dan pasal 112.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus memberi bimbingan teknis. Sebab, itu merupakan sanksi paling rendah yang akan diterima pelaku.
Ia menilai, dalam perkara kali ini sebenarnya terdakwa telah menuruti sanksi administrasi atas ketidak tahuannya berkegiatan di hutan lindung.
Setelah adanya teguran KPHL Bukit Barisan, ia menghentikan semua kegiatan. Kemudian mengikuti anjuran pengajuan kemitraan pada Dinas Kehutanan Sumbar melalui CV Semesta Mandeh.
“Ini sudah sanksi administrasi bagi terdakwa. Dia patuhi, karena mengentikan kegiatannya. Sesuai UU 32 tentang LH, harusnya tidak ada persoalan lagi,”terangnya.
Kepala KPHP Pesisir Selatan, Mardianto dalam kesaksiannya menjelaskan program kemitraan sebagai mitigasi konflik masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dengan kawasan hutan. Pelaksanan kemitraan tersebut secara jelas telah di atur Permen LHK nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial.
Kemudian diperkuat dengan Permen LHK Nomor: P.49/MENLHK/SETJEN/KUM.1/9/2017 tentang Kerjasama Pemanfaatan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan.
“Pemerintah memberikan kesempatan pada masyarakat atau badan hukum yang akan atau telah terlanjur mengelola kawasan hutan,”sebutnya.
Proposal yang diajukan terdakwa sebenarnya telah disetujui dinas. Namun, sampai perkara ini bergulir nota kesepakatan kerja sama belum diteken kedua belah pihak.
Sebab, guna memenuhi etika pemerintahan, Dinas Kehutanan Sumbar berkirim surat pada Pemkab Pessel guna beraudiensi terkait apa saja yang menjadi hak daerah.
“Namun, surat tidak kunjung dibalas. Setelah itu tiba-tiba saja Pemkab melalui Dinas Lingkungan Hidup melaporkan perkara ini,” tutur Penasehat Hukum terdakwa, Vino Oktavia,”pungkasnya.(Topit Marliandi)
Hits: 83